assalam mualaikum.....Wr Wb.....

terima kasih sudah berkunjung dan bersedia membaca cerita ini


Jumat, 07 Januari 2011

Isa AS (yesus) nabi muslim dari betthel,,,

Nabi Muslim, lahir di Bethlehem

Oleh irlander Kisah tentang Yesus menempati posisi yang istimewa di awal Islam. Tidak ada kebutuhan untuk “benturan peradaban” (clash of civilization).
Pada 632 M, setelah lima tahun peperangan yang hebat, Kota Mekkah di Hijaz, Semenanjung Arabia, secara sukarela membuka gerbang untuk pasukan Muslim. Tidak ada darah ditumpahkan dan tidak ada orang yang dipaksa untuk menjadi Muslim, tetapi Nabi Muhammad saw memerintahkan penghancuran seluruh berhala dan patung Ketuhanan. Terdapat sejumlah lukisan dinding pada dinding-dinding bagian dalam Ka’bah, tempat suci kuno di tengah Mekkah, dan salah satunya, konon diriwayatkan, menggambarkan Maria dan bayi Yesus. Segera, Muhammad saw menutupinya dengan jubahnya dengan penuh hormat, memerintahkan agar semua lukisan yang lain dihilangkan kecuali yang satu itu.
Kisah ini boleh jadi akan mengejutkan orang-orang di Barat, yang kadung memandang Islam sebagai musuh yang tidak dapat didamaikan dengan Kristen sejak Perang Salib. Namun, adalah sangat konstruktif untuk mengingat kisah tersebut, terutama selama Natal, ketika kita dikepung oleh gambar-gambar yang serupa tentang Sang Perawan dan Anak Sucinya. Kisah itu mengingatkan kita bahwa apa yang disebut “benturan peradaban” sama sekali bukan tidak bisa dielakkan. Selama berabad-abad, Muslim mencintai figur Yesus yang dihormati di dalam al-Quran sebagai salah satu nabi terbesar dan, di dalam tahun-tahun perkembangan Islam, menjadi salah satu bagian utama dari identitas Muslim.
Terdapat pelajaran penting di sini, baik bagi orang Kristen maupun Muslim-terutama barangkali pada saat-saat Natal seperti ini. Al-Quran tidak meyakini Yesus sebagai tuhan, tetapi ia mempersembahkan lebih banyak ruang bagi kisah tentang konsepsi dan kelahiran sucinya dibandingkan dengan apa yang dikisahkan di Perjanjian Baru. Al-Quran menyajikannya dengan kekayaan simbolis mengenai kelahiran Roh Kudus di dalam setiap manusia (QS. 19:17-29; 21:91). Seperti para nabi agung lainnya, Maria menerima Roh Kudus dan mengandung Yesus, yang pada gilirannya akan menjadi sebuah bukti (ayat): sebuah pesan perdamaian, kelembutan, dan kasih sayang kepada dunia.
Al-Quran dikejutkan oleh klaim-klaim Kristen bahwa Yesus adalah “putra Allah”, dan kemudian dengan bersemangat melukiskan Yesus, demi menyangkal ketuhanannya dalam upaya “membersihkan” dirinya dari proyeksi-proyeksi yang tidak layak tersebut. Berkali-kali, al-Quran menekankan bahwa, seperti juga Muhammad sendiri, Yesus adalah seorang manusia biasa yang sempurna dan bahwa orang Kristen sama sekali telah salah dalam memahami teks-teks suci mereka sendiri. Namun, al-Quran juga mengakui bahwa ada orang-orang Kristen yang paling setia dan terpelajar-terutama adalah para pendeta dan imam-tidak meyakini ketuhanan Yesus; dari semua hamba Tuhan, merekalah yang paling dekat dengan Muslim (QS. 5:85-86).
Harus dikatakan bahwa beberapa orang Kristen mempunyai pemahaman yang sangat sederhana dari apa yang dimaksud dengan penjelmaan. Ketika para penulis Perjanjian Baru, Paulus, Matius, Markus, dan Lukas menyebut Yesus sebagai “Anak Allah”, mereka tidak memaksudkan bahwa Yesus adalah Tuhan. Mereka menggunakan istilah itu dalam makna Ibraninya: di dalam Alkitab Ibrani, sebutan tersebut biasa dianugerahkan kepada manusia biasa yang fana, seperti seorang raja, imam, atau nabi-yang telah diberi tugas khusus oleh Allah dan menikmati keakraban yang tidak biasa dengan-Nya. Di seluruh Injilnya, Lukas justru selaras dengan al-Quran, sebab ia secara konsisten menyebut Yesus sebagai seorang nabi. Bahkan Yohanes, yang memandang Yesus sebagai penjelmaan Firman Allah, membuat suatu pembedaan, sekalipun hanya dalam satu ungkapan yang sangat bagus, antara “Firman” dengan Allah Sendiri-seperti halnya kata-kata kita yang terpisah dari esensi keberadaan kita.
Al-Quran menekankan bahwa semua agama yang benar dan terbimbing, berasal dari Allah, dan Muslim diwajibkan untuk mengimani wahyu-wahyu dari setiap kata para utusan Allah: Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa, dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan diri” (QS. 3:84). Dan, Yesus-yang juga disebut Mesiah-Sang Firman dan Roh Kudus-mempunyai status khusus.
Yesus, menurut al-Quran, mempunyai hubungan yang dekat dengan Muhammad, dan telah meramalkan kedatangannya (QS. 61:6), sama seperti para nabi Ibrani yang dipercaya oleh orang Kristen, telah menubuatkan kedatangan Kristus. Al-Quran menolak bahwa Yesus telah disalibkan dan memandang kenaikannya ke surga sebagai pernyataan keberhasilan dari misi kenabiannya. Dengan cara yang serupa, Muhammad suatu ketika secara mistik naik ke Singgasana Tuhan (peristiwa Isra’ Mi’raj). Di samping Muhammad, Yesus juga akan memainkan suatu peran yang sentral dalam drama eskatologis pada hari akhir.
Selama tiga abad pertama dari Islam, Muslim telah menjalin hubungan yang dekat dengan orang Kristen di Irak, Syiria, Palestina, dan Mesir, dan mulai mengoleksi ratusan riwayat dan perkataan yang berhubungan dengan Yesus; suatu koleksi yang tidak ada bandingannya di dalam agama non-Kristen manapun. Sebagian ajaran tersebut dengan jelas berasal dari Injil-terutama Khotbah di atas Bukit yang sangat populer tetapi ditampilkan dengan gaya Muslim. Yesus digambarkan melakukan ritual haji, membaca al-Quran, dan melakukan sujud dalam doanya.
Dalam riwayat-riwayat yang lain, Yesus mengartikulasikan secara terperinci apa yang menjadi perhatian Muslim. Dia telah menjadi salah satu teladan agung bagi para sufi Muslim, yang mengajarkan hidup sederhana, kerendahan hati, dan kesabaran. Kadang-kadang Yesus memihak satu kelompok dalam sebuah perselisihan teologis atau politis: membariskan dirinya bersama mereka yang mendukung kehendak bebas di dalam perdebatan mengenai takdir; memuji Muslim yang berdamai dengan prinsip politiknya (”Ketika para raja memberikan kebijaksanaan kepada kalian, maka sebaiknya kalian tinggalkan dunia untuk mereka”); atau mengecam para ulama yang melacurkan ajarannya demi keuntungan politis (”Janganlah kamu hidup dari Kitab Tuhan”). 1)
Yesus telah diinternalisasi oleh Muslim sebagai teladan dan inspirasi dalam pencarian spiritual mereka. Muslim Syiah merasa bahwa ada suatu koneksi kuat antara Yesus dengan imam-imam mereka yang menerima ilham, memiliki kelahiran-kelahiran yang ajaib, dan mewarisi pengetahuan propetik dari ibu-ibu mereka. Para Sufi terutama mengabdikan diri mereka kepada Yesus dan menyebutnya sebagai “nabi cinta”. Mistikus ternama Abad ke-12 M, Ibn al-Arabi, menyebut Yesus sebagai “penutup orang-orang kudus”-secara sengaja disandingkan dengan Muhammad sebagai “penutup para nabi”.
Cinta Muslim kepada Yesus adalah contoh yang luar biasa dari cara bagaimana sebuah tradisi dapat diperkaya oleh tradisi yang lain. Ini tidak berarti bahwa orang-orang Kristen harus membayar pujian tersebut. Sementara Muslim mengoleksi riwayat-riwayat mereka mengenai Yesus, sarjana-sarjana Kristen di Eropa justru menghujat Muhammad sebagai seorang pemuja seks dan penipu ulung, yang sangat menyukai kekerasan. Namun, pada hari ini, baik Muslim maupun orang Kristen sama bersalahnya atas sikap fanatik semacam itu dan seringkali juga lebih suka untuk melihat hanya bagian terburuk dari satu sama lain.
Cinta Muslim kepada Yesus menunjukkan bahwa hal itu tidak harus selalu menjadi situasinya. Pada masa lalu, sebelum terjadinya kekacauan politik dari modernitas, Islam selalu mampu melakukan koreksi diri. Tahun ini, pada hari kelahiran Jesus, mereka mungkin dapat bertanya kepada diri mereka sendiri bagaimana mereka dapat menghidupkan kembali tradisi panjang mereka berkaitan dengan pluralisme dan penghargaan kepada agama-agama yang lain. Ketika merenungi empati Muslim terhadap iman mereka, orang-orang Kristen sebaiknya melihat kembali masa lampau mereka sendiri dan mempertimbangkan apa yang mungkin dapat mereka lakukan untuk membalas rasa hormat ini.

Kisah ismail dan Ishak,,,

Ismail dan Ishak

Oleh irlander Sebuah Pembuktian Kerancuan Bible karangan Paulus Ismail as adalah putra pertama dari nabi Ibrahim as dengan Hajar, Ishaq as adalah anak kedua dari Ibrahim as dengan Sarah. Sarah adalah istri pertama Ibrahim, namun hingga umurnya yang telah mencapai seumur nenek-nenek belum juga dikarunia anak, maka Sarah memutuskan agar nabi Ibrahim mengawini budaknya yaitu Hajar. Maka Ibrahimpun mempunyai anak dengan Hajar yang diberi nama Ismail. Sarah cemburu hingga mengusir Hajar agar keluar dari rumahnya, Ibrahimpun membawa Hajar serta Ismail ke Mekah dan meninggalkannya di Mekah. Menurut keimanan Kristen dan Yahudi putra yang dikorbankan oleh Ibrahim adalah Ishaq, tetapi menurut keimanan Islam putra yang dikorbankan adalah Ismail. Perbedaan dua keimanan ini tidak mungkin benar kedua-duanya, pasti salah-satunya saja yang benar, karena dua keimanan ini berkisah pada satu obyek yang sama yaitu pengorbanan putra Nabi Ibrahim. Memang dalam masalah siapakah yang dikorbankan bukanlah masalah akidah, namun kebenaran siapakah yang dikorbankan membawa konsekuensi yang teramat besar, terutama bagi orang-orang Kristen dan Yahudi, pasalnya kebenaran ini berhubungan langsung dengan keakuratan kitab suci dalam mengisahkan kejadian yang sesungguhnya. Al-Qur’an menyatakan secara tidak langsung bahwa putra nabi Ibrahim as yang dikorbankan adalah Ismail, sementara menurut Talmud dan Bible yaitu kitab agama Yahudi dan Kristen, menyebutkan secara langsung dan tegas bahwa putra nabi Ibrahim yang dikorbankan adalah Ishaq. Kajian secara teliti dan jujur, baik berdasarkan Al-Qur’an, Bible dan Talmud akan diperoleh kesimpulan yang sama bahwa putra nabi Ibrahim yang dikorbankan adalah Ismail as bukan Ishaq as seperti yang diaku-aku oleh orang-orang Yahudi dan Kristen selama ini. Penyebutan nama Ishaq dalam Bible dan Talmud secara tata bahasa berkualitas sebagai sisipan para penulis kitab karena kedengkiannya, mari kita kaji secara ilmiah dan obyektif. MENURUT AL-QUR’AN Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. QS. 37:101 Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata:”Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab:”Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. QS. 37:102 Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). QS. 37:103 Dalam rangkaian ketiga ayat tersebut memang tidak secara langsung disebutkan bahwa nabi Ismail-lah yang dikorbankan, tetapi dari ayat pertama sudah jelas bahwa Allah SWT memberikan kabar gembira akan datangnya seorang anak yang amat sabar, ayat ini memberikan gambaran bahwa nabi Ibrahim saat itu belum mempunyai seorang anakpun, jadi anak yang dijanjikan dalam ayat tersebut adalah anak yang pertama yaitu Ismail. Dalam ayat-ayat selanjutnya mengisahkan dialog antara nabi Ibrahim dengan Ismail tentang perintah penyembelihan Ismail, dan beliau berdua berhasil melalui ujian yang nyata tersebut dengan amat sabar, dan Allah SWT mengganti Ismail dengan seekor sembelihan yang besar . Setelah al-Qur’an mengisahkan kisah antara nabi Ibrahim dengan putranya Ismail, dalam ayat selanjutnya yaitu QS. 37.112 Al-Qur’an mengisahkan bahwa Allah SWT memberikan kabar baik akan datangnya seorang anak lagi yang bernama Ishaq : Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh. QS. 37:112 Ayat tersebut memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa kabar gembira akan lahirnya Ishaq adalah setelah kisah kabar gembira akan lahirnya Ismail dan kisah perintah penyembelihannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an menyatakan Ismail-lah yang akan disembelih bukan Ishaq. MENURUT BIBLE Nabi Ibrahim dan Istrinya Sarah adalah dari bangsa yang sama, Sarah mempunyai budak bernama Hajar dari Mesir. Dalam pernikahannya dengan Sarah nabi Ibrahim belum dikaruniai anak padahal umur mereka sudah mencapai sekitar 80 tahun. Akhirnya Sarah memutuskan agar Ibrahim menikahi budaknya yaitu Hajar. Adapun Sarai, isteri Abram itu, tidak beranak. Ia mempunyai seorang hamba perempuan, orang Mesir, Hagar namanya. Berkatalah Sarai kepada Abram: “Engkau tahu, TUHAN tidak memberi aku melahirkan anak. Karena itu baiklah hampiri hambaku itu; mungkin oleh dialah aku dapat memperoleh seorang anak.” Dan Abram mendengarkan perkataan Sarai. Jadi Sarai, isteri Abram itu, mengambil Hagar, hamba-nya, orang Mesir itu, — yakni ketika Abram telah sepuluh tahun tinggal di tanah Kanaan –, lalu memberikannya kepada Abram, suaminya, untuk menjadi isteri-nya. Kejadian 16:1-3 Bersama Hajar nabi Ibrahim mempunyai anak yang kemudian dinamainya Ismail, ketika itu nabi Ibrahim berumur 86 tahun : Abram berumur delapan puluh enam tahun, ketika Hagar melahirkan Ismael baginya. Kejadian 16:16 Dan ketika nabi Ibrahim berumur 99 tahun, Allah SWT menjanjikan seorang anak lagi namun dari pihak Sarah : Ketika Abram berumur sembilan puluh sembilan tahun, maka TUHAN menampakkan diri kepada Abram ?K.. Kejadian 17:1 Aku akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya.” Kejadian 17:16 Dan setahun kemudian lahirlah anak dari Sarah yang diberi nama Ishaq, dua tahun ke-mudian nabi Ibrahim mengadakan perjamuan besar untuk menyapih Ishak, sehingga ketika Ishaq berumur 2 tahun Ismail berumur 16 tahun, namun Sarab berubah pikiran setelah mempunyai anak, ia menyuruh nabi Ibrahim untuk mengusir Hajar dan Ismail dari rumah-nya, maka Hajar dan Ismail meninggalkan rumah Sarah. Setelah itu Allah berfirman kepada nabi Ibrahim : Firman-Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishaq, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.” Kejadian 22:2 Dalam ayat tersebut dikisahkan secara jelas dan gamblang bahwa Bible mengisahkan Ishaqlah yang dikorbankan untuk disembelih bukan Ismail. BENARKAH KISAH BIBLE Satu-satunya dasar bagi orang-orang Yahudi dan Kristen mengimani Ishaq yang dikorbankan adalah penyebutan nama Ishaq dalam kitab mereka yaitu dalam kejadian 22:2. “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishaq . Kejadian 22:2 Setelah dikaji, kalimat yakni Ishaq dalam ayat tersebut mempunyai kejanggalan yang teramat serius, alasannya : Pertama : kalimat yakni Ishaq pada susunan tersebut adalah mubazir (sia-sia), karena kalimat tersebut telah sempurna justru bila tanpa yakni IshaqAmbillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, Dengan susunan tersebut tentu nabi Ibrahim sudah paham siapa yang disebut sebagai anak tunggal yang dikasihinya. Kedua : Kalimat yakni Ishaq kontradiksi (berlawanan) dengan kalimat sebelumnya yang menyatakan : Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi Karena ketika itu, Ismail telah lebih dahulu lahir sebagai anak nabi Ibrahim, penyebutan Ishaq sebagai anak tunggal dalam ayat tersebut tidak sesuai dengan sejarah dan itu berarti mengingkari Ismail sebagai anak sah Ibrahim. Inilah keturunan Ismael, anak Abraham, yang telah dilahirkan baginya oleh Hagar, perempuan Mesir, hamba Sara itu Kejadian 25:12 Tentu saja menyebut Ishaq sebagai anak tunggal berarti mengingkari Ismail sebagai anak Ibrahim, mengingkari Ismail sebagai anak Ibrahim berarti mengingkari ayat-ayat dalam Bible itu sendiri. ISHAQ ANAK TUNGGAL ? Firman-Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasih? Kejadian 22:2 Siapakah anak tunggal yang dimaksud dalam ayat tersebut bila bukan Ishaq ?Ibrahim hanya mempunyai dua orang anak, yaitu Ismail dan Ishaq, Ishaq bisa disebut sebagai anak tunggal bila Ismail sebagai anak per-tama telah meninggal, tetapi kenyataannya Is-mail belum meninggal. Ismail bisa disebut se-bagai anak tunggal bila Ishaq belum lahir, keadaan yang kedua inilah yang paling mungkin. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa peristiwa perintah penyembelihan terhadap Ismail adalah sebelum Allah ?? memberikan kabar gembira yang kedua kalinya kepada nabi Ibrahim akan lahirnya seorang anak lagi yaitu Ishaq, seperti disebutkan dalam QS. 37:101-11. Al-Qur??an menyatakan bahwa : Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, , Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu QS. 37:102 Yang dimaksud pada umur sanggup adalah ketika seseorang sudah bisa untuk mencari kayu bakar, mengembala kambing, mencari air dan lain-lain, dan ketika Ismail mencapai pada umur sanggup Ishaq belumlah lahir, jadi ketika itu Ismail adalah anak tunggal nabi Ibrahim. Penyebutan yakni Ishaq. dalam kejadian 22:2 membuat fakta-fakta yang ada menjadi berantakan, ayat-ayat dalam Bible yang berhubungan dengan Ismail dan Ishaq menjadi banyak yang kontradiksi, Ishaq yang bukan anak tunggal disebut sebagai anak tunggal, Ismail yang anak sah nabi Ibrahim harus diingkari. Untuk mengingkari Ismail sebagai anak sah nabi Ibrahim, harus diingkari pula bahwa Hajar bukan istri sahnya, seperti ayat berikut ini : Berkatalah Sara kepada Abraham: “Usirlah hamba perempuan itu beserta anaknya, sebab anak hamba ini tidak akan menjadi ahli waris bersama-sama dengan anakku Ishak.” Kejadian 21:10 Bukankah ayat itu mnyangkal Hajar dan Ismail sebagi istri dan anak nabi Ibrahim ? MENGAPA HARUS ISHAQ Orang-orang Israel sangat bangga atas kesukuannya, sangat mengagung-agungkan nenek moyangnya, mereka menjunjung tinggi nabi Ishaq tetapi merendahkan nabi Ismail, karena Ishaq adalah nenek moyang mereka yang berderajat tinggi dan berdarah murni sebagai keturunan nabi Ibrahim dengan Sarah yang berasal dari satu bangsa dan sebagai seorang majikan, sementara Is-mail adalah nenek moyang bangsa Arab dari keturunan nabi Ibrahim dengan Hajar yang berdarah koptik (campuran) antara Israil dengan Mesir dan Hajar adalah budak dari Sarah. Menurut mereka bangsa Israel adalah bangsa yang lebih tinggi derajatnya daripada bangsa Arab. Orang-orang Israel iri hati setelah Allah menjadikan Ismail sebagai korban yang akan disembelih, orang-orang Israel tidak mau orang-orang Arab mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT, mereka menginginkan segala kemuliaan dan berkah hanya untuk orang Israel, menurut mereka semestinya Ishaqlah yang dipilih sebagai korban sembelihan, karena kesombongan tersebut dan perasaan lebih tinggi dari bangsa Arab, mereka berani mengadakan kedustaan dengan mengubah-ubah ayat-ayat Allah, salah satunya dengan menambah kalimat : Yakni Ishaq Ke dalam kalimat anakmu yang tunggal itu Mereka sebenarnya mengetahui bahwa Ishaq bukanlah anak tunggal nabi Ibrahim, dan mereka mengetahui bahwa Ismail per-nah menjadi anak tunggal nabi Ibrahim yaitu ketika Ishaq belum lahir, mereka tidak peduli bila penambahan tersebut akan mengakibatkan kontradiksi yang serius dalam kitab mereka, Allah SWT telah menyatakan dalam al-Qur??an : segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui? QS. 2:75 Begitu besar kebencian orang-orang Yahudi kepada orang-orang Arab sampai berani mengubah fakta bahwa Ishaq yang bukan anak tunggal ditulisnya sebagai anak tunggal dalam kitab mereka sebagai anak tunggal demi menghilangkan kemuliaan Ismail. Kebencian orang-orang Yahudi dan Israel kepada bangsa Arab tidak hanya pada masa nabi Ishaq dan nabi Ismail hidup, tetapi kebencian mereka berlanjut hingga pada masa diutusnya nabi Muhammad saw sebagai Rasul bahkan hingga sekarang ini. Ketika Yesus/nabi Isa as menyampaikan kabar kepada orang-orang Israel tentang akan datangnya seorang nabi terakhir dari keturunan Ismail, mereka langsung marah dan gusar yang akhirnya pada rencana pembunuhan nabi Isa as. Makanya setelah orang-orang Israel/ Yahudi mengetahui bahwa nabi terakhir dari bangsa Arab dan jaman akan diutusnya seorang nabi sudah dekat, mereka banyak yang pergi ke Madinah untuk menunggu datangnya nabi tersebut dengan maksud akan membunuhnya, bukan untuk mengimaninya, dan mereka mengancam masyarakat Madinah : Sekarang ini sudah hampir zaman seorang nabi yang diutus. Kami akan membunuh kalian bersamanya. Nasib kalian akan seperti kaum ??Ad dari penduduk Iram Sirah Ibnu Hisyam dengan sanad Hasan Namun Alhamdulillah karena ancaman yang sekaligus memberikan kabar tentang ramalan akan datangnya seorang nabi di Madinah tersebut, orang-orang Madinah mudah beriman kepada nabi Muhammad saw ketika nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah padahal mereka tidak pernah bertemu sebelumnya.
Nb: Terlepas dari semua kontroversi tersebut, yang jelas kedua-duanya adalah anak kandung Ibrahim, derajat seorang manusia yg diangkat Nabi oleh Allah SWT. Siapa yang merendahkan kedua anaknya, sama saja menghantam dan menghina Bapaknya yaitu Nabi Ibrahim AS.
Tulisan ini dikirim pada pada Mei 25, 2009 3:01 am dan di isikan dibawah Cek and Ricek.

Kamis, 06 Januari 2011

islam agama yang toleransi


Senin, Januari 18, 2010

ISLAM DAN TOLERANSI ANTAR AGAMA


Perspektif ajaran Islam tentang toleransi antar umat beragama terkait erat dengan doktrin Islam tentang hubungan antara sesama umat manusia dan hubungan Islam dengan agama-agama lain. Perspektif Islam tentang toleransi beragama sebenarnya bukan berangkat dari aspek teologis semata, tetapi juga berpijak pada aspek kemanusiaan itu sendiri, sementara di sisi lain juga tidak mengabaikan pengalaman historis manusia dalam pergaulan hidup, terutama dalam kehidupan beragama.
Seperti agama-agama lain, Islam memang memiliki klaim-klaim ekslusif, terutama menyangkut wilayah keimanan (baca: tauhid). Akan tetapi, disamping klaim-klaim ekslusif, Islam juga memberikan penekanan khusus pada klaim inklusivisme keagamaan, sebagaimana akan kita lihat. Inklusivisme demikian sebenarnya memiliki akar teologis pada adanya satu Tuhan, satu kebenaran, dan satu asal usul manusia. Menurut Islam, manusia berasal dari satu asal yang sama, yakni Adam dan Hawa. Kendati berasal dari nenek moyang yang sama, lalu kemudian manusia menjadi bersuku-suku, berkaum-kaum, dan berbangsa-bangsa, dengan kebudayaan dan peradaban yang berbeda-beda. Perbedaan demikian justru mendorong mereka untuk saling mengenal, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran:
”Hai Manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal.” (QS. Al-Hujurat 49:13)
Dengan demikian, menurut ajaran Islam, meskipun manusia memiliki perbedaan-perbedaan budaya, bahasa, warna kulit, kepercayaan, dan sebagainya, sebenarnya mereka adalah satu umat. Al-Quran menyatakan:
”Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya 21:92).
Jadi , perspektif ”kesatuan umat manusia” memiliki akar yang kuat dalam ajaran Al-Quran. Perspektif itu selanjutnya berkembang menjadi ”solidaritas antarmanusia” (ukhuwwah insaniyyah atau ukhuwwah basyariyyah).
Dalam satu rumpun umat manusia, Allah menurunkan satu kebenaran universal melalui Kitab-kitab Suci dan para rasul-Nya. Akan tetapi, ketika kebenaran universal itu diterapkan dalam ruang waktu terbatas, kebenaran itu ditanggapi berbeda oleh manusia dengan pemahamannya sendiri-sendiri, maka terjadilah perbedaan penafsiran, yang kemudian menjadi menajam dengan masuknya berbagai vested interest akibat hawa nafsu. Inilah yang disanyalir oleh Al-Quran:
”Sesungguhnya manusia adalah umat yang satu, kemudian Allah mengutus para nabi yang membawa kabar gembira dan memberi peringatan, dan Dia menurunkan bersama para nabi itu Kitab Suci untuk menjadi pedoman bagi manusia berkenaan dengan hal-hal yang mereka perselisihkan; dan tidaklah berselisih tentang hal itu melainkan mereka yang telah menerima Kitab Suci itu sesudah datang kepada mereka berbagai keterangan, karena persaingan antara mereka.” (QS. Al-Baqarah 2:213).

Memang Allah memberikan petunjuk kebenaran kepada manusia, tetapi Dia juga memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada mereka untuk mempercayai atau mengingkarinya. Namun, segala pilihan itu wajib mengandung resiko tanggung jawab. Al Quran menyatakan:
”Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka.” (QS. Al-Kahf 18:29).
Allah tidak memaksakan kehendakNya kepada manusia, karena hasil paksaan hanyalah kepura-puraan dan hal demikian bertentangan dengan fitrah (watak bawaan) manusia. Karena itu, Allah berfirman:
” Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman segala orang yang di muka bumi. Maka apakah kamu (hendak) memaksakan manusia supaya menjadi orang –orang beriman semuanya?” (QS. Yunus 10:99).
Jika Allah sendiri bersikap amat toleran terhadap segenap manusia, maka manusia pun harus bersikap toleran terhadap sesamanya. Dari itu, Islam memandang pemaksaan agama kepada orang lain adalah sikap yang keliru.
”Tidak ada paksaan dalam menganut agama. Sesungguhnya telah jelas antara yang benar dan yang sesat.” (QS. Al-Baqarah 2:256).
Dari itu, tugas rasul hanya menyampaikan seruan:
”Dan katakanlah kepada orang-orang yang diberi kitab dan kepada orang-orang yang ummi. Apakah kamu mau masuk Islam. Jika mereka masuk Islam, maka sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanya menyampaikan. Dan Allah Maha Melihat hamba-hambaNya.” (QS. Al-’Imran 3:20).
Sehubungan dengan itu, Islam tentu saja mewajibkan kepada para pemeluknya untuk menyampaikan pesan-pesan Islam melalui dakwah, sebagaimana dianjurkan Al-Quran:
”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, pelajaran-pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik!” (QS. An-Nahl 16:125).
Akan tetapi, panggilan demikian tidak boleh dilakukan dengan melibatkan pemaksaan.
Disebabkan adanya prinsip-prinsip di atas, maka Al-Quran mengajarkan paham kemajemukan keagamaan (religious plurality). Ajaran ini tidak perlu diartikan sebagai secara langsung pengakuan akan kebenaran semua agama dalam bentuknya yang nyata sehari-hari. Akan tetapi, ajaran kemajemukan keagamaan itu menandaskan pengertian dasar bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para penganut agama itu masing-masing, baik secara pribadi maupun secara kelompok. Sikap ini dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada semua agama yang ada, yang pada mulanya menganut prinsip adanya satu kebenaran, untuk saling berdamai dan saling berlapang dada dalam berbagai lapangan kehidupan. Dalam konteks ini, Islam sangat menekankan kepada para penganutnya untuk mengembangkan common platform, yang dalam istilah al-Quran disebut ”kalimatun sawa”, sebagaimana hal itu diisyaratkan ke dalam perintah Allah swt. kepada RasulNya, Nabi Muhammad Saw.:
”Katakanlah olehmu (Muhammad), ’Wahai Ahli Kitab, marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun sawa’) antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula mempersekutukan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai ”tuhan-tuhan” selain Allah.” (QS. Al-Imran 3:64)
Jadi, common platform itu hendaklah dibangun di atas keimanan yang benar, yakni tauhid, keesaan Tuhan. Dari dasar inilah selanjutnya dikembangkan titik-titik dalam berbagai lapangan kehidupan. Dengan mengembangkan titik-titik temu, bukan perbedaan, akan dapat diciptakan kehidupan bersama yang toleran, saling menghargai, dan saling mempercayai.
Bahkan, Al-Quran mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw. dan umatnya untuk menyampaikan kepada penganut agama lain, setelah kalimatun sawa’ tidak dicapai:
”Kami atau kamu pasti berada dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata. Katakanlah, ’Kamu tidak akan ditanyai (bertanggungjawab) tentang dosa yang kami perbuat, dan kami tidak akan ditanyai (pula) tentang dosa yang kamu perbuat.’ Katakanlah, Tuhan kita akan menghimpun kita semua, kemudian menetapkan dengan benar (siapa yang benar dan yang salah) dan Dialah Maha Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui.” (QS. Saba 34:24-26).
Hubungan persaudaraan antara Muslim dan non-Muslim sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selam pihak lain menghormati hak-hak kaum Muslim: ”Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berbuat adil (memberikan sebagian hartamu) kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah 60:8).
Pengembangan ”kalimatun sawa” dalam aspek-aspek tertentu yang berkaitan dengan teologi, doktrin, dan ritual, atau akidah dan ibadah tentu saja tidak dapat dijadikan prioritas, karena kemungkinan-kemungkinan celah ke arah itu sukar ditemukan. Dalam aspek-aspek itu yang perlu dibangun adalah tanggung jawab setiap pribadi untuk memiliki keyakinan dan ritual dalam berhubungan dengan Tuhan, tanpa mengganggu orang lain. Inilah yang diisyaratkan Al-Quran dalam ungkapan:
”Bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku.” (QS. Al-Kafirun 109:6).
Dan: ”Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak (perlu ada) pertengkaran antara kami dan kamu. Allah mengumpulkan kita dan kepadaNya-lah kita kembali.” (QS. Asy-Syura 42:15).

Bertolak dari kerangka ajaran di atas, kaum Muslimin mengimplementasikan ”teologi kerukunan” Islam sepanjang sejarah Nabi Muhammad sendiri telah memulai pengalaman itu, ketika beliau hijrah ke Madinah, pada 622 M. Pembentukan negara Madinah (Negara Kota), tidak diragui, merupakan momen sejarah sejauh menyangkut implementasi kerangka teologi , doktrin, dan gagasan kerukunan keagamaan Islam terhadap para penganut agama-agama lain, dalam konteks ini, khususnya agama Yahudi dan Nasrani.
Momen sejarah itu adalah penetapan Piagam Madinah atau sering disebut Konstitusi Madinah oleh Nabi Muhammad saw. Dalam konstitusi itu, secara tegas dinyatakan hak-hak penganut agama Yahudi untuk hidup berdampingan secara damai dengan kaum Muslim. Kaum Yahudi menerima Konstitusi Madinah secara sukarela. Berkat konstitusi itu, kaum Yahudi terangkat dari sekadar klien kesukuan menjadi warga negara yang sah. Dalam seluruh entitas politik atau negara Islam sepanjang sejarah, kaum Yahudi tidak pernah kehilangan status ini. Posisi mereka tidak bisa dilenyapkan, karena begitulah yang dicontohkan Nabi Muhammad saw.
Di sisi lain, menyangkut kaum Nasrani tidak lama setelah Nabi Muhammad saw. melakukan ”pembebasan” (fath) Mekah, pada 8 H/630 M, sejumlah penganut agama Nasrani di Yaman mengirimkan utusan kepada Nabi saw. di Madinah. Kedatangan mereka adalah untuik menjelaskan kedudukan mereka vis-a-vis negara Islam,atau sebaliknya kedudukan negara Islam vis-a-vis mereka. Delegasi itu kemudian menjadi tamu Nabi di rumahnya, dan bahkan beliau menerima mereka di mesjid. Nabi saw. menjelaskan Islam kepada mereka, dan seperti biasa, mengajak mereka masuk Islam. Sebagian menerima ajakan itu, dan sebagian lagi tetap dalam agama mereka semula. (Nasrani), dalam lingkup entitas politik Islam. Nabi seterusnya mengukuhkan eksistensi mereka sebagai ummah yang khas, seperti juga kaum Yahudi.
Apa yang dipraktikkan Nabi Muhammad itu dan diajarkan oleh Al-Quran seperti disebutkan di atas senantiasa menjadi acuan bagi kaum Muslim dalam hidup berdampingan dengan pemeluk-pemeluk agama lain di dunia sejagat. Jika terjadi konflik, di mana kaum Muslim mendapat tekanan, intimidasi, dan sebagainya dari pemeluk agama lain, maka Islam mengizinkan pemeluknya untuk membela diri. Di sinilah termanifestasinya jihad sebagai peperangan untuk mempertahankan diri dalam rangka menegakkan kebenaran kalimat Tuhan. Perintah perang dalam Al-Quran adalah sebagai reaksi, bukan aksi, seperti dinyatakan:
”Telah diizinkan perang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha-Kuasa menolong mereka itu. Yaitu orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka, tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata, ’Tuhan kami hanya Allah’ Dan sekiranya Allah tiada menolak sebagian mereka dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyaik disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang-orang yang menolong diri-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha-Kuasa lagi Maha-Perkasa.” (QS. Al-Hajj 22:39-40).
Jadi jelas, Islam menghendaki kedamaian antarmanusia, tidak boleh ada penganiayaan, penindasan, pengucilan dan meremehkan di antar sesama manusia. Peperangan hanya dilakukan sebagai upaya bela diri dan untuk mengenyahkan tekanan-tekanan dan penganiayaan-penganiayaan dalam masyarakat. Oleh sebab itu, Al-Quran menganjurkan untuk tidak saling mencurigai, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, tidak menggunjing (QS. Al Hujurat 49:12), karena semuanya itu dapat mengganggu berjalannya toleransi.
Demikian, gambaran global ajaran Islam. Semoga ada manfaatnya bagi segenap Muslim dan para pemeluk agama lain, untuk mengawali pengenalan terhadap sejarah dan ajaran Islam, amin ya Rabbal’alamin!
Sumber: http://www.muslimtionghoa.com/index.php?action=generic_content.main&id_gc=105

1 komentar:

vre mengatakan...
subhanallah..bagus banget mbak postingannya..setuju banget..Allah SWT ga pernah memaksa untuk memeluk agama islam,tapi membuka pikiran manusia,n memberikan pilihan,serta konsekuensi dari pilihan2 itu... pERANG?? itu juga yg sya sesalkan skarang ini..sgerombolan orang mengaku pejuang islam dan berdalih fisabillah saat menganiaya umat lain,menghancurkan gedung2,yg ironisnya mereka melakukan itu sambil menjeritkan :ALLAHU AKBAR.. sebenarnya yg menjelekkan agama islam bukan dari agama lain, melainkan umat islam sendiri yg salah mengartikan alquran

jihad yang baik,,

Doktrin Jihad Banyak Disalahartikan

Oleh Redaksi
Dengan demikian, tidak masuk akal kalau kita menggunakan doktrin jihad dengan interpretasi semacam itu. Dunia ini akan porak-poranda kalau jihad dalam arti sempit dan ofensif itu dibenarkan. Jika ada negara muslim yang melegitimasi doktrin jihad secara sporadis, saya kira, dunia akan kiamat. Dengan dasar bahwa non-muslim halal darahnya, lantas kita menembakkan senjata pemusnah massal ke arah mereka. Itu bisa berabe, celaka. Jadi, perluasan atau ekstensifikasi makna jihad semacam itu sangat berbahaya.
Banyak orang terhenyak ketika Imam Samudra alias Abdul Aziz, tersangka utama bom Bali, mengeluarkan pernyataan mencengangkan di hadapan wartawan. “Ini adalah perjuangan suci (jihad), bukan perjuangan hina. Insya Allah, Allahu akbar!” Tentu saja, pernyataan Imam Samudra tersebut menyisakan banyak pertanyaan dalam pikiran kita tentang konsep jihad dalam Islam; Relevankah konsep jihad itu dipakai dan dijewantahkan di era modern ini? Apa sih jihad itu? Sebenarnya, bagaimana Alquran berbicara tentang Jihad?
Tak bisa dipungkiri, pernyataan Imam Samudera tentang jihad menyemburkan aroma tak sedap bahwa Islam memuat doktrin-doktrin suci untuk menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan, termasuk pemboman yang mengakibatkan korban meninggal ratusan jiwa yang tak berdosa. Betulkah Islam seperti itu?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, Ulil Abshar-Abdalla dari Komunitas Islam Utan Kayu (KIUK) mewawancarai Taufik Adnan Amal, ahli tafsir dari IAIN Alauddin, Makasar yang telah menulis buku Rekonstruksi Sejarah Alquran (2001) pada Kamis, 28 November 2002. Berikut petikannya:
Bung Taufik, Imam Samudra alias Abdul Azis, tersangka utama peledakan bom Bali, mengklaim perbuatannya sebagai perjuangan suci (jihad), bukan perjuangan hina. Bagaimana menurut Anda, apakah jihad dalam Alquran ditafsirkan seperti itu?
Taufik1.jpgAgama atau doktrin-doktrin tertentu, pada hakikatnya bisa ditafsirkan ke mana-mana. Kitab suci agama memberikan kebebasan kepada pemeluknya untuk menafsirkan. Fenomena yang terjadi di Indonesia, yakni melegitimasi kekerasan atas nama Tuhan, adalah hal yang biasa terjadi dalam kasus-kasus radikalisme agama. Pertanyaannya, kalau kita melihat hakikat Islam, apakah mungkin melegitimasi kekerasan semacam itu atas nama Islam?
Imam Samudra juga mengaku siap dihukum mati, bahkan ia merasa bahagia karena akan mati “syahid”. Bukankah itu menunjukkan adanya mitos tentang martyrdoom (mati syahid)?
Ya, betul. Memang ada mitos kesyahidan. Jadi, mereka yang berjuang di jalan Tuhan, apabila mati akan disebut mati syahid. Begitulah doktrin yang diajarkan dalam agama-agama, bukan Islam saja. Permasalahannya, agak susah melegitimasi tindakan kekerasan semacam itu dengan melandaskannya pada ajaran Islam. Sebab, pada hakikatnya, Islam itu --dari sisi etimologis saja-- berarti damai, aman, tentram dan lain-lain.
Saya kira, kita tidak usah menggunakan ukuran agama dalam melihat kasus kekerasan atas nama Tuhan. Dari perspektif humanisme saja, kita sudah bisa menyalahkan perbuatan itu. Terlebih lagi dari sudut pandang agama, terutama Islam, yang mendeklarasikan kedamaian sebagai inti ajarannya.
Bisakah Anda bercerita perihal evolusi pengertian jihad dalam konteks Alquran yang Anda geluti?
Kata “jihad” baru memiliki konteks yang jelas ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah. Dalam hal ini, harus dimengerti bahwa Madinah adalah semacam “negara muslim” yang harus mempertahankan eksistensinya melawan orang-orang Arab dari klan Quraisy ketika itu. Dari sinilah ajaran Islam tentang jihad itu berkembang. Sebenarnya tafsiran paling mutakhir tentang jihad selalu bersifat defensif. Dengan demikian, pada periode modern, pengertian jihad sama sekali tak bermakna ofensif.
Kita melihat, konteks jihad pada saat itu adalah pada fase Madinah ketika Nabi Saw harus mempertahankan eksistensi komunitas muslim yang dirongrong oleh suku Quraisy yang berdomisili di Mekkah, beberapa suku Yahudi di Madinah, dan beberapa suku Badui. Jadi, saat itu memang ada doktrin Islam yang mengajarkan Nabi Saw bagaimana mempertahankan diri dari serangan musuh. Namun demikian, doktrin tersebut juga bermakna agak ofensif. Misalnya, kasus penyerangan atau penaklukan kota Mekkah (fath al-Makkah). Tanpa menyerang Mekkah ketika itu, hampir mustahil Nabi Saw bisa menguasai jazirah Arab secara keseluruhan.
Dalam konteks itu, apakah jihad bersifat ofensif?
Bisa juga bersifat defensif. Demi mempertahankan eksistensi diri. Kalau peperangan tidak dilakukan, komunitas muslim yang masih berupa embrio itu tentu akan punah. Saya kira, dalam konteks semacam itulah ajaran-ajaran tentang jihad diturunkan: jihad secara fisik. Tentu jihad memiliki pengertian yang banyak. Yang paling menonjol saat itu adalah jihad dalam artian fisik tadi.
Pada saat kekuasaan Islam menyebar di luar jazirah Arab, apakah perang yang dilakukan para penguasa Islam saat itu juga bermakna jihad?
Pada saat itu (dinasti-dinasti Islam, Red), mereka menundukkan tujuan-tujuan politik atas nama jihad. Jihad digunakan untuk melegitimasi tujuan-tujuan politik demi perluasan wilayah. Memang dalam sejarah Islam, jihad sudah banyak disalahartikan sekadar untuk menjustifikasi tujuan-tujuan politik oleh rezim-rezim penguasa.
Sekarang ini jihad di tangan Usamah bin Ladin diartikan secara sempit sebagai perang melawan Amerika, Yahudi dan Barat secara umum. Usamah mengeluarkan fatwa khusus mengenai pengertian lain dari kata jihad. Bagaimana pandangan Anda?
Saya kira, semua yang difatwakan Usamah ada kaitannya dengan politik. Dalam artian, untuk menjustifikasi tujuan-tujuan politik jaringan al-Qaeda. Bagi saya, doktrin jihad yang sangat ofensif seperti yang difatwakan Usamah bin Ladin saat ini sangat tidak masuk akal. Ini terutama bila diletakkan dalam konteks sebuah negara modern yang memiliki perlengkapan senjata pembunuh massal yang dahsyat itu.
Dengan demikian, tidak masuk akal kalau kita menggunakan doktrin jihad dengan interpretasi semacam itu. Dunia ini akan porak-poranda kalau jihad dalam arti sempit dan ofensif itu dibenarkan. Jika ada negara muslim yang melegitimasi doktrin jihad secara sporadis, saya kira, dunia akan kiamat. Dengan dasar bahwa non-muslim halal darahnya, lantas kita menembakkan senjata pemusnah massal ke arah mereka. Itu bisa berabe, celaka. Jadi, perluasan atau ekstensifikasi makna jihad semacam itu sangat berbahaya. 
Radikalisme Islam acapkali dikaitkan dengan politik luar negeri Amerika Serikat dan Israel yang dinilai juga mengusung semangat perang yang tinggi. Nah, ada yang berpendapat bahwa adanya radikalisme Islam ini merupakan reaksi dari standar ganda yang dilakukan Amerika dan sekutunya. Bagaimana komentar Anda?
Saya sepakat bahwa Amerika Serikat memiliki standar ganda dalam kebijakan politik luar negeri. Kita harus mengutuk setiap langkah Amerika yang membiarkan penindasan Israel terhadap rakyat Palestina. Saya ingat, Jaringan Islam Liberal juga pernah melakukan protes dan demonstrasi kepada Kedubes Amerika dalam kaitan dengan rencana serangan terhadap Irak. Saya kira, setiap aksi kekerasan harus kita kutuk. Setiap agama, tidak hanya Islam, seharusnya mengutuk bentuk-bentuk kekerasan, baik yang dilakukan oleh orang Barat ataupun orang Timur. Kita tidak boleh dikskriminatif dalam hal ini.
Soal politik yang memakai kendaraan agama yang sekarang sedang ramai dibicarakan. Apakah Alquran atau Islam punya konsep khusus mengenai konsep Islam dan politik ini?
Tentang masalah Islam dan politik, saya kira, Islam tidak memiliki konsep yang jelas tentang politik. Tapi dalam hal etika politik, Islam punya kerangka bagaimana kita berperilaku sebagai politikus yang baik, maslahat dan lain-lain. Adapun masalah konsep negara dan sejenisnya tentu bisa diperdebatkan. Misalnya, Alquran merujuk kerajaan-kerajaan yang ada pada masa Nabi Sulaiman. Tentu saja, rujukan pada kerajaan masa Sulaiman bukan berarti sistem kerajaanlah yang menjadi sistem pemerintahan yang dianjurkan dan dijustifikasi oleh Alquran.
Demikian pula misalnya Alquran menjustifikasi dan mengungkap perihal federasi kesukuan yang dibangun pada masa Nabi Saw di Madinah. Itu bukan berarti Alquran menjustifikasi negara federal atau federasi kesukuan ala Nabi Saw. Sebenarnya yang diberikan Alquran adalah moral, patokan-patokan dasar dalam perilaku berpolitik, bukan politik itu sendiri!
Bagaimana Anda melihat ayat-ayat jihad dan perang (al-qital)? Adakah yang secara spesifik membedakannya?
Sebenarnya ada polemik di kalangan ulama tentang ayat-ayat yang berkenaan dengan perang dan damai. Misalnya, di abad kedua dan ketiga Hijriah, tafsiran ayat-ayat tentang jihad ini telah menghapuskan (nasakh) ayat-ayat yang menyeru perdamaian dan berbuat baik di lingkungan umat Islam. Pengembangan doktrin semacam ini sangat tidak masuk akal, karena pada masa-masa belakangan, jumlah ayat-ayat yang me-nasakh ayat-ayat perdamaian semakin hari semakin kecil. Mana ada ayat yang me-nasakh (nasikh) jauh lebih sedikit dengan ayat yang di-nasakh (mansukh).
Akhirnya, ulama-ulama modern meyakini nasikh (ayat yang menghapus, Red) dan mansukh (ayat yang dihapus, Red) tidak ada lagi dalam Alquran. Jadi, bagian-bagian Alquran tentang jihad dan damai itu harus dipahami berdasar konteks zaman pada masa itu. Masalahnya, bagaimana kita menafsirkan ayat-ayat tadi berdasarkan konteks kita belakangan ini.
Mengapa umat Islam merasa keberatan untuk menolak kecenderungan menggunakan doktrin jihad sebagai legitimasi tindak kekerasan. Mereka suka mengatakan: “Ya, Amerika juga menggunakan kekerasan terhadap orang Islam di Timur Tengah!” Mengapa kedua hal itu tidak ditolak saja karena sama-sama perbuatan kriminal. Sekarang ini seolah-olah bila kekerasan dilakukan orang Islam dengan dalil agama, tindak itu menjadi sah. Mengapa demikian?
Masalahnya memang doktrin jihad itu yang paling gampang dieksploitasi dan dipergunakan untuk memobilisasi massa. Mengapa banyak orang diam saja saat jihad dieksploitasi sedemikian rupa? Mungkin orang melihat bahwa Amerika juga semena-mena dalam memperlakukan isu Palestina, misalnya. Mestinya kita kutuk kedua-duanya karena itu merupakan ketidakadilan yang nyata. Kalau kita mendiamkan “jihad” ala Imam Samudra, berarti kita melakukan bentuk lain dari standar ganda. Di satu sisi mengutuk Amerika, tapi diam seribu bahasa bila yang melakukannya adalah umat Islam
Seringkali ayat-ayat Alquran dipakai sebagai alat penyebar kabar-kabar kebencian. Bagaimana cara mendudukkan Alquran supaya kita tidak terperosok dalam lobang yang berbahaya itu?
Barangkali kita harus berbicara masalah metodologi tafsir. Alquran itu memiliki konteks. Alquran turun dalam konteks yang jelas. Dengan demikian, untuk memahami bagian Alquran yang satu dengan lainnya, kita harus memahami berdasar konteks itu tadi.
Artinya, Alquran tidak begitu saja bisa dipahami secara harfiah. Alquran, sebagai kitab suci, mengaku sebagai hudan li al-nâs wa bayyinât min al-hudâ wa al-furqân (petunjuk dan penjelasan atas petunjuk tersebut, Red). Hal ini berarti bagian ayat Alquran yang satu terkait dengan bagian-bagian lainnya. Intinya, kita harus memahami Alquran dalam konteks kesejarahannya, konteks sastranya, dan bagaimana bagian-bagian Alquran itu berkelindan antara satu dengan lainnya. Setelah memahami konteks Alquran, kita baru bisa menafsirkannya berdasar konteks kita sekarang.
Pendek kata, ada empat konteks yang harus kita gunakan untuk memahami Alquran. Pertama, konteks kesejarahannya. Kedua, konteks kronologisnya. Kenapa ini perlu? Karena Alquran itu berkembang. Periode Mekkah, Alquran masih mengatakan bahwa khamar (minuman keras, Red) itu masih bermanfaat meskipun kecil. Tapi di ujung periode Madinah, khamar dikatakan sebagai perbuatan setan (rijsun min amal al-syaithan). Di situ ada kronologi ayat-ayat. Itulah yang dinamakan konteks kronologis Alquran.
Ketiga, kita harus memahami Alquran dalam konteks keseluruhannya. Ini karena kitab suci Alquran menjelaskan bahwa dia bisa berbicara tentang dirinya sendiri. Ada adagium menarik: “Biarlah Alquran berbicara tentang dirinya.” Dan keempat, adalah konteks saat ini atau kekinian. Ketika kita hendak membumikan ajaran Alquran, kita hendaknya memahami realitas yang ada di zaman sekarang. Itu penting agar proses pembumian itu tidak salah kaprah.
Artinya menurut Anda, doktrin jihad sebenarnya bisa diartikan secara luas, tidak bertendensi fisik semata?
Ya, betul. Saya sepakat makna jihad jangan hanya ditafsirkan secara fisik. Kalaupun dimaknai secara fisik, hendaklah dia mengandung pengertian yang defensif, bukan ofensif. Nah, makna jihad yang lain juga harus lebih ditekankan sekarang. Misalnya, amar makruf nahi munkar dan ijtihad. Kata ijtihad dan mujahadah sebenarnya juga satu akar kata dengan jihad. Itu harus dikembangkan juga. Sayangnya sekarang ini yang dominan memang jihad dalam artian fisik yang ofensif itu.
Bagaimana agar doktrin jihad tidak ditafsirkan secara semena-mena?
Kita harus kembali memahami Alquran. Misalnya, memahami bahwa damai adalah ajaran esensial Alquran. Kita juga harus memahami bahwa pluralisme adalah sunnatullah. Itu jelas sekali terkandung dalam Alquran. Alquran secara jelas memberikan hak hidup bagi agama-agama lain. Bahkan, keberadaan pemeluk agama lain itu, dalam Alquran, dianggap sebagai bagian dari kompetisi manusia untuk memberikan kontribusi yang bermanfaat untuk kemanusiaan itu sendiri. []
01/12/2002 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)
jihad sebenarnya pada masa Rosululloh bukan bertujuan menyerang orang non islam, melainkan jihad disini adalah untuk mempertahankan diri dari serangan dan aniaya orang-orang jahiliyah. tapi yang terjadi di masa sekarang adalah masih kita jumpai orang-orang islam masih menyalah artikan pengertian jihad itu sendiri.  ketika jihad masih dihubungkan dengan masalah peperangan berarti kita mendustai agama kita sendiri, padahal kita hidup di tengah agama orang lain. maka untuk itu kita dituntut untuk saling hormat menghormati dan saling menghargai agama lain. yang kita butuhkan jihad disini adalah memerangi kemerosotan moral bangsa kita.
-----
Posted by ANDI  on  10/04  at  12:10 AM